Oleh : Azwar .Baaher .Budi.Effendi (ABBE).foto:istiimewa
Dalam kondisi saat ini dan memasuki tahun 2023, diprediksi akan terjadi resesi menimpa dunia dan imbasnya akan terjadi di Indonesia. Sehingga, dunia usaha lesu dan pengusaha akan merumahkan para pekerjanya. Bahkan melakukan PHK /(Pemutusan Hubungan Kerja)
Sesuai ketentuan kalangan pengusaha tetap harus membayar upah. Termasuk membayar iuran seluruh program jaminan sosial. Agar pekerja tetap memiliki pendapatan dan tetap terlindungi jaminan sosial.
Terkait dengan upah, kenaikan sebagaimana diketahui Upah Minumum (UM) selama ini menjadi masalah klasik menjadi agenda klasik konflik dan tahunan di Indonesia sepanjang masa.
Di mana, penetapan UM pasti disertai aksi penolakan dari SP/SB atau pun Asosiasi Pengusaha (Apindo).
Bila SP/SB yang menolak maka aksi demo digelar dan berlanjut ke PTUN. Bila Apindo menolak biasanya juga ke PTUN dan melakukan “pembangkangan” dengan tidak mau mematuhi keputusan kenaikan UM itu.
Walaupun ada pidana bagi pengusaha yang tidak menjalankan UM. Namun, dengan lemahnya kinerja pengawas ketenagakerjaan, yang sudah menjadi rahasia umum, biasanya pengusaha berani melanggar ketentuan UM tersebut.
Saat ini pun, proses penentuan UM 2023 akan berpotensi menjadi konflik. Pemerintah cq. Kemnaker sudah menyatakan akan menggunakan rumus kenaikan UM di Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021. Yang kenaikannya akan berkisar 1 sampai 2 persen.
Tentunya Apindo akan mendukung pernyataan Kemnaker ini. Sepertinya ruang dialog sudah ditutup Kemnaker, walaupun dalam pemberitaan media Menaker masih menunggu hasil dialog di Dewan Pengupahan.
Proses penetapan upah minimum (UM) 2023 akan dilakukan di bulan Nopember 2022 ini oleh semua Gubernur. Seperti biasa, Menteri Ketenagakerjaan akan mengingatkan para Gubernur untuk menetapkan UM 2023, baik UM Provinsi maupun UM Kabupaten/ Kota, sesuai rumus yang dituliskan dalam Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No 36 Tahun 2022 tentang Pengupahan.
Mengingatkannya dengan mengedepankan alasan, UM merupakan Program Strategis Nasional (PSN) yang wajib dipatuhi para Gubernur. Kalau Gubernur tidak patuh pada rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) tersebut maka Gubernur akan “disangkakan” tidak mematuhi PSN sehingga bisa disanksi dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Proses penentuan UM dengan menggunakan Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) hanya membutuhkan data-data dari BPS yaitu data Rata-rata Konsumsi per Kapita, Rata-rata banyaknya Anggota Rumah Tangga (ART), Rata-rata banyaknya ART yang bekerja pada setiap rumah tangga, Inflasi Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Daerah.
Dengan lima variable data tersebut maka dapat dihitung kenaikan UM 2023. Bila Batas Atas (BA) lebih kecil dari UM 2022 maka dipastikan tidak ada kenaikan UM di wilayah tersebut. Dengan rumus di Pasal 26 itu, ada beberapa kabupaten/Kota yang UM-nya tidak naik di 2022.
Jadi dapat disimpulkan bila penentuan UM 2023 masih menggunakan rumus-rumus di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PP No 36 Tahun 2022, tidak ada dialog secara tripartite yang bisa dibangun baik di tataran pusat maupun daerah.
Dalam berbagai pemberitaan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) mengatakan, pemerintah masih menunggu hasil dialog secara Tripartit. Yang melibatkan pengusaha dan buruh serta Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) untuk memformulasikan perhitungan terkait upah minimum (UM) 2023.
Lebih lanjut Menaker menyatakan, namun demikian, kebijakan pengupahan tahun 2023 dipastikan akan mengacu ke Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021.
Kelompok menilai pernyataan Menaker tersebut sebagai pernyataan tanpa makna dan sangat sumbang. Bagaimana bisa ada dialog yang diharapkan Menaker ketika Menaker sudah memastikan perhitungan UM 2023 menggunakan rumus Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021? Apa sih yang dimaksud “Dialog” oleh Menaker pada pemberitaan tersebut?
Kalau dialog secara Tripartit hanya dimaknai sebagai sebuah pertemuan untuk melegitimasi perhitungan rumus yang ada di Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), saya nilai itu bukan dialog. Itu sekadar pertemuan untuk ngopi bareng saja.
Kelompok pun berharap Menaker mau menjelaskan kepada public tentang “dialog” dalam penetapan UM 2023. Sehingga, public tahu apakah memang dialog yang dimaksud benar-benar dialog yang membuka ruang kesepakatan di antara Dewan Pengupahan Daerah atau hanya suara sumbang Menaker.
Kemnaker cq. Direktorat Pengupahan tetap masih berfokus pada penggunaan Pasal 26 ayat 3, 4 dan 5 PP 36 tahun 2021 tanpa memberikan suatu peluang penetapan UM 2023 dengan mekanisme dialog yang berkualitas. Dan bermantabat sehingga para pihak dapat menerima.
Rekomendasi:
1 Tidak lagi mendelegasikan DP dan kepala daerah untuk menetapkan UM,
2. Kebijakan penetapan UM agar dilakukan pemerintah pusat. Krn semua komponen ada di pusat.
3. Kebijakan ini untuk meminimalis munculnya konflik, karena adanya ketidakpuasan berbagai pihak, terkait penetapan upah..
Penulis adalah Wartawan anggota Fowarker (Forum Wartawan Ketenagakerjaan) Jakarta