Home Hukum Tripartit Nasional Dukung Revisi Permenaker 19 Tahun 2015 Tentang JHT

Tripartit Nasional Dukung Revisi Permenaker 19 Tahun 2015 Tentang JHT

376
0

Rapat LKS Tripartit Nasional beberapa waktu lalu.foto :dokumen

 

 

Jakarta-harianumumsinarpagi.com                 Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak,

Hal tersebut menghadapi resiko-resiko ekonomi atau sosial yang dapat mengakibatkan terhentinya atau sangat berkurangnya penghasilan.

Demikian pesan tertulis  pengamat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan ,Timboel Siregar  dan anggota LKS  Tripartit Nasional,Sahat Butar Butar SH yang diterima harianumumsinarpagi.com,Jumat (8/10).

Kedua Aktivis Buruh/pekerja ini menjelaskan, Program jaminan sosial yang ada saat ini terdiri dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Semua jaminan sosial ini dikhususkan untuk melindungi pekerja Indonesia pada saat bekerja maupun paska bekerja.

Program JHT adalah tabungan pekerja yang memang dikhususkan untuk mendukung daya beli paska bekerja. Pasal 35 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) mengamanatkan program JHT diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Pasal ini ingin menjamin pekerja (termasuk keluarganya) yang mengalami tiga masalah sosial tersebut tetap memiliki daya beli atau mempertahankan tingkat ekonominya.

Menurit kedua tokoh Buruh ini ,pada umumnya, tiga masalah sosial tersebut cenderung berkontribusi pada penambahan angka kemiskinan khususnya bagi pekerja. Pendapatan (income) yang didapat cenderung dikonsumsi habis oleh pekerja dan keluarganya sehingga lupa untuk menyisihkan untuk mengisi tabungan. Dengan adanya program JHT ini, pekerja diajar untuk disiplin menabung untuk mengatasi masalah sosial yang mungkin terjadi tersebut. 

Tujuan hadirnya program JHT ternyata tidak didukung oleh regulasi operasional JHT yang menyebabkan Pasal 37 ayat (1) UU SJSN yang mengamanatkan manfaat JHT berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap, tidak berjalan dengan baik. Sejak lahirnya PP No. 60 Tahun 2015 junto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 19 tahun 2015, pencairan dana JHT justru lebih didominasi karena alasan PHK, bukan karena tiga alasan yang disebut Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1),j,kata Timboel Siregar

Ketentuan dalam PP No. 46 Tahun 2015, pencairan dana JHT sesuai dengan amanat Pasal 35 dan Pasal 37 UU SJSN, sehingga tidak membuka ruang pencairan JHT karena alasan PHK. Namun PP No. 46 tahun 2015 direvisi oleh PP no. 60 Tahun 2015 jo. Permenaker no. 19 Tahun 2015, pencairan dana JHT dapat dilakukan oleh pekerja yang terPHK tanpa ada persyaratan masa kepesertaan JHT.  Bila di era Jamsostek lalu pencairan dana JHT dibolehkan untuk pekerja yang mengalami PHK dengan masa kepesertaan minimal 5 tahun.

Dampak pemberlakuan PP No. 60 Tahun 2015 jo. Permenaker no. 19 Tahun 2015, secara filosofis-sosiologis, adalah tujuan hadirnya program JHT tidak tercapai karena semakin banyak pekerja produktif yang tidak memiliki tabungan di JHT lagi. Dampak secara Yuridis, terjadi pelanggaran isi Pasal 35 dan Pasal 37 UU SJSN oleh isi PP No. 60 Tahun 2015 Jo. Permenaker no. 19 Tahun 2015,tambah Sahat Butar butar

Menurut Timboel Siregar, dampak pada pelaksanaan program yaitu Rasio Klaim JHT setiap tahun terus meningkat, yaitu tahun 2018 sebesar 52%, 2019 naik menjadi 57%, dan di tahun 2020 menjadi 67%. Akibat rasio klaim yang semakin tinggi, tidak ada ruang cukup baik untuk pengelolaan dana JHT. Persentase hasil investasi dana JHT terus menurun, di 2018 sebesar 7,56%, turun di 2019 menjadi 6,78% dan di 2020 menjadi 6,73%.

Terus menurunnya persentase hasil investasi menyebabkan imbal hasil JHT yang diberikan kepada pekerja juga menurun. Imbal Hasil JHT di 2018 sebesar 6,26%, turun di 2019 menjadi 6,06% dan di 2020 menjadi 5,63%. Penurunan ini akan mempengaruhi kualitas tabungan pekerja di JHT, yang diharapkan dapat mendukung kesejahteraan pekerja pada saat memasuki pensiun.

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2021 tentang optimalisasi program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan diinstruksi untuk merevisi beberapa regulasi terkait jaminan sosial ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja Indonesia. Tentunya skema pencairan JHT versi PP no. 60 Tahun 2015 jo. Permenaker no. 19 Tahun 2015 merupakan salah satu regulasi yang disasar untuk direvisi.

Paling tidak saat ini Kementerian Ketenagakerjaan telah memproses revisi Permenaker No. 19 tahun 2015 untuk menata kembali proses pencairan dana JHT sehingga bisa mengembalikan fungsi JHT secara filofosi, yuridis dan sosiologis sesuai Pasal 35 dan Pasal 37 UU SJSN.

Kami sebagai anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional dari unsur Serikat Pekerja/SerikatBuruh mendukung revisi Permenaker no. 19 tahun 2015 tersebut, yaitu mengembalikan skema klaim JHT seperti di era Jamsostek lalu yaitu pencairan dana JHT dengan mensyaratkan minimal kepesertaan 5 tahun plus 1 bulan setelah PHK. Ketentuan ini sudah biasa diketahui oleh pekerja/buruh, karena sejak 1993 sudah diterapkan syarat minimal kepesertaan 5 tahun,kata Timboel Siregar yang juga Sekjen OPSI

Revisi ini tentunya disesuaikan dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan mulai dilaksanakan pada Februari 2022. Pekerja yang telah menerima JKP tidak perlu lagi mencairkan JHT, agar pekerja tetap memiliki tabungan di JHT. Tentunya Pemerintah juga harus merevisi PP No. 37 Tahun 2021 dengan menyertakan pekerja yang kontraknya jatuh tempo dan pekerja yang mengundurkan diri mendapatkan manfaat JKP. Pelaksanaan revisi ini pun harus dilakukan dengan sosialisasi yang massif dan efektif agar pekerja/buruh mengetahuinya.

Bila secara normative maka revisi disesuaikan dengan pasal 35 dan pasal 37 UU SJSN, yaitu bisa diambil sebagian dengan minimal 10 tahun kepesertaan. Kalau ketentuan ini mungkin akan ada protes dari pekerja. Lakukan secara bertahap saja pencairan JHT yaitu dengan mensyaratkan kepesertaan minimal 5 tahun dan 1 bulan setelah PHK,kata Timboel Siregar. *pr/fen

 

 

 

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here