Home Ragam Peranan Budaya dan Hukum Adat Batak Toba Dalam Pemerintahan Sejak Hindia...

Peranan Budaya dan Hukum Adat Batak Toba Dalam Pemerintahan Sejak Hindia Belanda

615
0

 

Oleh : A.Marulitua Siahaan

Menelisik kejamnya ulah perusahaan Oligarki seperti yang ada di Tapanuli Raya, mungkin perilakunya lebih tepat disebut, ibarat kata orang Melayu, berbahagia di atas penderitaan orang lain atau keberadaannya ibarat “Api dalam Sekam.”

Posisinya, meski selalu mengeluarkan asap dan bau busuk, dia bersikukuh bertahan dalam bayang-bayang.

Bahkan, sudah rahasia umum dia bersenang-senang diatas penderitaan rakyat selama 34 tahun kejahatannya menimpa Bangso Batak di Tapanuli Raya, serasa kebal hukum.

Modus yang sering dilakukannya untuk mematahkan perlawanan masyarakat adat yakni dengan memakai strategi seperti memprovokasi sesama warga masyarakat, menciptakan adu domba bahkan rela berkorban memelihara para pihak yang buta hati, sampai masyarakat melakukan tindakan hal yang justru dibuat menjerat masyarakat itu sendiri.

Misalnya, ada rakyat melakukan tindakan kekerasan terhadap pihak perusahaan dan atau karyawan perusahaan atau merusak fasilitas perusahaan, justru hal semacam itu yang diinginkannya hingga berurusan dengan aparat polisi.

Dapat dibayangkan, jika sebuah perusahaan besar sebagai pelapor, tentu aparat akan lebih sigap atau laporannya jadi skala prioritas untuk diproses dan menahan warga-warga yang dianggap penghalang.

Ditenggarai hal demikian jika mengutip isi buku Van Vallenhoven asal Belanda, dalam bukunya yang berjudul Penemuan Hukum Adat (1987 : 153 & 199), dia memaparkan sejarah penerapan hukum adat di bidang hukum agraria terkait Tanah Hak Ulayat.

“Dalam tahun 1872 sampai 1874 dengan pengaturan umum mengenai pemerintahan (maksudnya penerbitan domein verklaring yakni pernyataan hak penguasaan tertinggi pemerintah atas semua tanah khususnya tanah ulayat yang bukan tanah hak eigendom).

Pemerintah kembali pada ketentuan keputusan dalam Agraria dimulai dari tahun 1870 adalah sah yang melindungi asas-asas hukum adat dengan istilah adatrech (hukum adat).

Hal itu kali pertama dipakai dalam naskah-naskah pemerintahan dimulai pada 1904 sejak Staatblad Belanda tahun 1920, 1921 dan 1924 sehingga istilah-istilah itu mendapatkan cap resmi secara sah yang harus dilaksanakan.

Kemudian, pada 1926, Pemerintah memutuskan menunjuk seorang kontrolir (J.C Vergowen) untuk mempelajari jalannya peradilan (maksudnya peradilan pribumi itu) di Tapanuli Raya.”

Uraian dari Van Vallenhoven tersebut telah menjelaskan bahwa dalam sejarah bangsa Indonesia, pemerintah Belanda seperti juga pemerintah RI telah menerapkan asas hukum adat dalam penanganan setiap sengketa hingga terakhir oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara, yang menghormati sesuai amanat 18B Ayat (2) UUD RI Tahun 1945 menggunakan istilah Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan dan perlindungan yang dilaksanakan oleh Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat, dapat terwujud apabila ada landasan hukumnya dalam bentuk aturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang tentang Masyarakat Hukum Adat.

Sayangnya, terjadi pergeseran nilai terhadap peranan ajaran adat budaya sejak zaman Hindia Belanda hingga era globalisasi yang sedang berlangsung. Para tokoh masyarakat adat khususnya para praktisi hukum sepertinya kurang antusias, padahal posisi hukum adat adalah awal adanya Hukum Agraria bentuknya sangat perlu guna meningkatkan peranan lembaga-lembaga marga dan lembaga adat Dalihan Na Tolu, guna membina tata hidup habatahon yang bersifat family atmosphere.

Oleh pemerintah sadar hingga akhirnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sengaja dibuat untuk memberi peluang bagi lembaga adat di Tapanuli Raya bahkan untuk kepentingan seluruh suku nusantara guna melestarikan nilai sosial budaya masyarakat setempat.

Dari uraian tentang posisi Hukum Adat/Adat Istiadat sebagaimana dalam uraian tersebut adalah di atas, prinsip-prinsip moral yang menjadi kaidah moral dalam adat istiadat tersebut akan dapat dijadikan landasan atau sebuah konseptual dalam kegiatan penegakan hukum.

Sebab, etika adanya budaya suku-suku di Indonesia adalah mengandung prinsip-prinsip moral sosiatif dan toleransi didasari dengan etika moral keadilan.

Etika keadilan dapat diterapkan melalui tiga aspek, yaitu: etika agama, etika budaya, dan etika Pancasila.

Landasan Etika dalam Aspek Agama

Landasan Agama adalah menduduki posisi sentral dalam proses penegakan dan pembangunan hukum.

Apalagi, bahwa keberadaan agama sangat mengandung dua aspek peranannya dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
1. Peranan sebagai tuntunan kehidupan spiritual yang biasa disebut sebagai dogma agama.
Dogma agama adalah merupakan wahyu dari Ilahi (TUHAN) yang memiliki kadar nilai kekekalan yang tidak mungkin dinilai dari aspek logika insani.

2. Peranan sebagai tatanan kehidupan spiritual yang biasa disebut Gereja, Masjid, dll.

Sebagai tatanan kehidupan spiritual dapat didekati untuk pengembangannya melalui etika agama.

Etika agama berperan sebagai pembimbing tingkah laku manusia agar mampu mencapai kebahagiaan dalam aspek insani dan aspek Ilahi melalui prinsip moral takut akan Allah.

Frans Magnis Suseno seperti diangkat E. Sumaryono (1995: 255) menyatakan, ada empat alasan untuk melakukan pendekatan etika, yaitu:
1. etika dapat membantu dalam menggali rasionalitas dan moralitas agama;

2.etika membantu dalam menginterpretasikan ajaran agama yang saling bertentangan;

3. etika dapat membantu penerapan ajaran moral agama terhadap masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia, seperti soal bayi tabung dan euthanasia.

4. etika dapat membantu mengadakan dialog antar agama karena etika mendasarkan pada argumentasi rasional belaka bukan pada wahyu.

Keempat pendekatan etika agama tersebut sangat relevan untuk dijadikan landasan perilaku para profesional, sehingga kapasitas profesional para penegak hukum dapat berkembang sejalan dengan realitas sosial yang dihadapi mereka dalam proses penegakan hukum.

Dengan melibatkan ajaran – ajaran agama tentu sungguh mengandung prinsip moral utama yaitu roh takut akan Tuhan.

Isi janji/sumpah jabatan profesi hukum selamanya didasarkan pada prinsip moral utama tersebut.

Para insan profesional akan semakin mampu menjalankan peranan pengabdian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara jika mampu menerapkan Golden Wisdom yaitu : perilaku yang mendasarkan diri dalam etika agamanya dengan dukungan etika budaya suku dan etika Pancasila.

Penerapan etika agama akan dapat berjalan optimal jika didukung penerapan etika budaya suku-suku dan etika Pancasila.

Penanganan konflik kultural dalam era globalisasi perlu ditingkatkan melalui kegiatan lembaga sosial agama dan lembaga sosial budaya.

Masyarakat suku adat Minangkabau misalnya, sangat berhasil menerapkan etika agama dan etika budayaNya.

Minangkabau mengatasi berbagai konflik kultural di lingkungan masyarakat Minangkabau di manapun mereka berada.

Lembaga sosial budaya dan agama di Minangkabau telah sejak lama menerapkan prinsip etika adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabulloh.

Kegiatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Minangkabau dalam kegiatan menjalankan peradilan adat, selalu dibina Kerapatan Adat Alam Minangkabau (KAAM) dan lembaga sosial agama setempat

* Penulis pengamat Budaya dan hukum Adat Batak tinggal di Jakarta

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here